![]() |
Dr. Saring Suhendro, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. (Ist). |
Pringsewu, Jbnindonesia.com – Efektivitas kelembagaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) "PT. PRINGSEWU JAYA SEJAHTERA" Pringsewu, Lampung, menghadapi tekanan evaluatif dari publik. Kritik ini dipicu oleh ketimpangan antara besarnya penyertaan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp 5 miliar dan hasil dividen tahunan yang hanya Rp 22 juta.
Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan serius terhadap konsep efisiensi fiskal, tata kelola lembaga publik, serta mekanisme checks and balances yang diterapkan di tingkat daerah.
Inefisiensi Ekstrem dan Risiko Keuangan Daerah :
Dari perspektif ekonomi publik, angka dividen Rp 22 juta dari modal Rp 5 miliar merefleksikan tingkat Return on Investment (ROI) sekitar 0,44 persen. Ini berada jauh di bawah standar minimum efisiensi investasi sektor publik yang umumnya ditetapkan berdasarkan benchmark antara 5-10 persen, tergantung sektor usaha.
Menurut Dr. Saring Suhendro, S.E., M.Si., Ak., CA, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, performa keuangan BUMD tersebut menunjukkan tanda inefisiensi ekstrem yang berpotensi menimbulkan beban struktural bagi fiskal daerah.
“Kalau uang sebesar itu cuma menghasilkan Rp 22 juta, itu artinya hampir tidak ada nilai tambah fiskal. Ini harus segera dievaluasi,” ujar Saring kepada Jbnindonesia.com, Minggu (30/6).
Dugaan Praktik Rent-Seeking dalam Manajemen BUMD :
Lebih dari sekadar masalah finansial, rendahnya hasil dividen juga dikaitkan dengan kualitas tata kelola. Dr. Saring menyoroti dugaan rent-seeking behavior, yakni ketika jabatan strategis dalam BUMD diberikan atas dasar kedekatan politik, bukan kompetensi profesional.
“Kalau jabatan diberikan hanya karena relasi politik, BUMD hanya akan jadi alat kekuasaan, bukan alat ekonomi. Ini merusak kepercayaan pasar,” tegasnya.
Dalam kajian ekonomi kelembagaan, praktik rent-seeking seperti ini dikenal sebagai sumber utama distorsi pasar. Ia menciptakan insentif negatif, menghambat inovasi, dan menurunkan kredibilitas manajerial lembaga.
Seleksi Direksi Dinilai Sekadar Formalitas:
Saring mengingatkan bahwa seleksi jabatan strategis di BUMD seharusnya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2017, khususnya Pasal 39 dan 58 yang mewajibkan fit and proper test secara terbuka dan objektif.
“Jika seleksi hanya formalitas, dan nama-nama sudah dikondisikan dari awal, maka potensi perbaikan tata kelola akan tertutup,” ujarnya.
Dalam kerangka governance publik, proses seleksi berbasis meritokrasi adalah elemen kunci pembentukan struktur manajemen yang akuntabel dan berorientasi pada kinerja.
Dorongan Kontrak Kinerja dan Sanksi Finansial:
Dr. Saring mendukung usulan agar seluruh pejabat BUMD menandatangani kontrak kinerja yang terukur. Ia menyebut bahwa kontrak ini penting sebagai instrumen penegakan akuntabilitas fiskal.
“Harus ada ukuran keberhasilan yang jelas. Kalau gagal karena kelalaian, bukan karena kondisi pasar, perlu diberi sanksi. Bisa berupa pemotongan insentif, pemberhentian, atau bahkan clawback dana publik,” katanya.
Model kontrak kinerja seperti ini umum digunakan dalam manajemen publik modern, termasuk pada BUMN di negara-negara OECD sebagai bagian dari reformasi birokrasi korporat.
Audit Investigatif Jadi Langkah Mendesak :
Mengingat ketimpangan yang signifikan antara input dan output fiskal, Dr. Saring mendorong dilakukannya audit investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP, atau lembaga independen untuk mengidentifikasi penyebab utama dari rendahnya performa BUMD.
“Audit penting untuk mengetahui, apakah ini murni inefisiensi atau ada penyimpangan. Jangan sampai uang publik dipakai tanpa akuntabilitas,” ucapnya.
Audit investigatif tidak hanya bertujuan menghitung kerugian negara, tetapi juga merekomendasikan reformasi struktural yang diperlukan untuk mencegah kegagalan berulang.
Konsekuensi Fiskal Jangka Panjang :
Jika pola seperti ini terus dibiarkan, BUMD berisiko menjadi entitas pasif yang menggerus ruang fiskal, bukan mendukungnya. Biaya gaji, tunjangan, dan operasional tetap berjalan, sementara kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) stagnan atau nihil.
“Tanpa perbaikan struktural, APBD hanya akan menjadi subsidi permanen untuk organisasi yang tidak produktif. Itu berbahaya secara jangka panjang,” ujar Dr. Saring.
Menurutnya, setiap penyertaan modal publik harus didasarkan pada prinsip value for money, yakni memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan menghasilkan dampak ekonomi yang sepadan.
Urgensi Sistem Monitoring Kinerja Terpadu :
Sebagai bagian dari solusi, Dr. Saring menyarankan dibentuknya dashboard kinerja terpadu yang berisi indikator keuangan (likuiditas, solvabilitas, dan efisiensi), operasional (kapasitas produksi, pangsa pasar), dan tata kelola (audit, kontrak kinerja, dan pelaporan publik).
Dashboard ini harus dapat diakses oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), DPRD, serta publik, agar proses pengawasan tidak hanya bersifat retrospektif atau pasif.
Kritik Publik Jadi Alarm Institusional :
Sebelumnya, tokoh lokal ABe Alatas mengungkap kondisi ini melalui unggahan di media sosial yang viral. Ia menyebut bahwa BUMD Pringsewu telah beralih fungsi menjadi “parkiran balas budi politik”, dan menyebut bahwa proses seleksi jabatan hanya formalitas karena sudah ada “nama titipan”.
Unggahan tersebut menuai dukungan luas dari masyarakat, termasuk akademisi, jurnalis, hingga warga biasa. Komentar publik di media sosial menunjukkan meningkatnya literasi fiskal warga dan ketidakpuasan atas pengelolaan dana publik yang dianggap tidak bertanggung jawab.
“Rakyat sekarang sudah cerdas, tapi elite masih pura-pura bodoh,” tulis salah satu warganet dalam kolom komentar yang ramai diperbincangkan. ( Davit)
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia